local photo (2024) ilustrasi |
Mengendalikan Hawa Nafsu untuk Meraih
Kebahagiaan Abadi
By. Eep Saepul Hayat
Pendahuluan:
Dalam
Islam, umat diajarkan untuk mengendalikan hawa nafsu dan menghadapi godaan
dalam kehidupan sehari-hari melalui berbagai prinsip dan praktik. Mereka
didorong untuk memiliki kesadaran yang kuat tentang kehadiran Allah dan tunduk
sepenuhnya kepada-Nya. Studi dan pemahaman yang mendalam tentang ajaran Islam
membantu kita memahami batasan-batasan yang ditentukan oleh Allah dan
membedakan antara yang halal dan yang haram. Kesabaran, keteguhan hati, dan
menghindari lingkungan negatif juga menjadi bagian penting dalam menjaga
kendali diri dan menghindari godaan. Selain itu, memperkuat hubungan dengan
Allah melalui ibadah, doa, dan dzikir memberikan kekuatan dan bimbingan dalam
menghadapi godaan. Memprioritaskan kebaikan dan amal perbuatan yang baik serta
selalu memohon pertolongan Allah juga menjadi bagian dari upaya untuk
mengendalikan hawa nafsu dan menghadapi godaan. Dengan menerapkan
prinsip-prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari, umat Islam diberdayakan untuk
memperkuat kendali atas hawa nafsu mereka dan menjalani kehidupan dengan
kesabaran dan keteguhan hati yang kuat.
Mengendalikan
Hawa Nafsu sebagai Ujian:
Setiap
mukmin akan menghadapi ujian dan godaan dalam kehidupan mereka. Allah SWT
menciptakan manusia dengan kecenderungan terhadap hawa nafsu, dan mengendalikan
hawa nafsu tersebut merupakan salah satu ujian yang harus dihadapi oleh setiap
individu.
Surah
Al-Baqarah ayat 286[1],
menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang melebihi batas kemampuannya.
Artinya, Allah mengetahui kapasitas dan kekuatan setiap individu untuk
menghadapi ujian dan godaan dalam hidupnya. Allah tidak memberikan beban yang
tidak dapat ditanggung oleh hamba-Nya. Oleh karena itu, mengendalikan hawa
nafsu juga merupakan bagian dari ujian yang sesuai dengan kemampuan
masing-masing individu.
Dalam
Al-Qur'an juga terdapat banyak ayat yang menekankan pentingnya mengendalikan
hawa nafsu. Misalnya, Surah Yusuf ayat 53[2],
Allah berfirman, "Sesungguhnya hawa nafsu itu sangat berat, kecuali bagi
orang yang diberi rahmat oleh Tuhannya." Ayat tersebut menunjukkan bahwa
mengendalikan hawa nafsu memang merupakan tugas yang berat, tetapi Allah
memberikan rahmat-Nya kepada mereka yang berusaha melakukannya.
Dalam
Islam, mengendalikan hawa nafsu dianggap sebagai upaya untuk mencapai
keseimbangan, kesucian, dan ketaatan kepada Allah. Ujian ini memungkinkan
mukmin untuk menguatkan iman mereka, meningkatkan kesabaran, dan mendekatkan
diri kepada Allah. Dalam menghadapi godaan dan mengendalikan hawa nafsu, mukmin
diberikan petunjuk dan bimbingan melalui Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Dengan
pemahaman bahwa Allah memberikan ujian sesuai dengan kemampuan individu,
seorang mukmin dapat menghadapi godaan dan mengendalikan hawa nafsunya dengan
keyakinan bahwa Allah tidak akan memberikan beban yang tidak dapat ditanggung.
Mereka diberdayakan untuk bertahan dan melampaui ujian tersebut dengan
mengandalkan kekuatan dan pertolongan dari Allah SWT.
Penjara Dunia sebagai Pembatas untuk Kebaikan:
Istilah
"penjara"[3]
dalam konteks ini digunakan secara metaforis untuk menggambarkan keterbatasan
dan ujian yang ada dalam dunia ini.
Islam
mengajarkan bahwa kehidupan di dunia ini sementara dan ujian-ujian yang ada di
dalamnya adalah bagian dari persiapan menuju kehidupan akhirat yang abadi.
Larangan-larangan dan batasan-batasan yang ditetapkan dalam agama Islam
bertujuan untuk melindungi mukmin dari godaan dan menguji kesetiaan mereka
kepada Allah.
Perintah
dan larangan dalam Islam didasarkan pada kebijaksanaan Allah SWT yang sempurna
dan pemahaman-Nya tentang apa yang terbaik bagi manusia. Larangan terhadap
perbuatan dosa dan maksiat, seperti zina, riba, dan konsumsi minuman
beralkohol, ditujukan untuk menjaga mukmin dari jatuh ke dalam perbuatan yang
merusak diri sendiri, hubungan dengan sesama, dan hubungan dengan Allah.
Dengan
menghindari perbuatan dosa dan mematuhi larangan agama, mukmin diharapkan
menjalani kehidupan yang bermanfaat, adil, dan penuh dengan kasih sayang. Dalam
Islam, kebebasan individu tidak diartikan sebagai kebebasan tanpa batas untuk
mengejar keinginan pribadi yang bertentangan dengan ajaran agama, tetapi
sebagai kebebasan untuk mengamalkan kebaikan dan menjalani kehidupan yang
sesuai dengan petunjuk Allah.
Penting
untuk dicatat bahwa pandangan ini tidak secara eksklusif berlaku bagi umat
Islam, tetapi juga ditemukan dalam banyak agama dan filosofi moral lainnya.
Konsep batasan dan ujian dalam rangka menghindari godaan dan menjalani
kehidupan yang bermakna dapat ditemukan dalam berbagai tradisi keagamaan di
seluruh dunia.
Dalil-dalil
dari Hadis dan Al-Qur'an:
a.
Hadis tentang Penjara
Dunia:
Dalam
Al-Durr al-Sunniyyah[4],
hadis menjelaskan bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin. Hadis ini
menekankan bahwa seorang mukmin harus menahan diri dari segala sesuatu yang
tidak diizinkan oleh Islam dan menjalani hidup dengan kesulitan. Hal ini
menunjukkan pentingnya mengendalikan hawa nafsu dan mengikuti ajaran agama.
b.
Ayat Al-Qur'an
tentang Penyiksaan bagi Orang Kafir:
Al-Qur'an
juga menggambarkan konsekuensi bagi orang kafir yang tidak terikat oleh
batasan-batasan keimanan. Surah Al-Baqarah ayat 126[5]
menyatakan, "Dan apabila mereka melampaui batas di bumi, mereka berbuat
kerusakan di dalamnya dan merobohkan kebun-kebun serta keturunan yang baik,
maka Allah menyiksa mereka dengan seksa yang pedih." Ayat ini menegaskan
bahwa kehidupan duniawi yang tidak dijalani sesuai dengan ajaran agama dapat
berujung pada siksaan yang kekal.
c.
Hadis tentang
Kesabaran dan Pahala yang Dijanjikan:
Nabi
Muhammad ﷺ juga mengajarkan tentang pentingnya
kesabaran dalam menghadapi penjara dunia. Beliau bersabda[6],
“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
‘Allah Ta’ala berfirman: Tidak ada balasan yang sesuai di sisi-Ku bagi hamba-Ku
yang beriman, jika aku mencabut nyawa orang yang dicintainya di dunia, kemudian
ia rela dan bersabar kecuali surge”. Hadis ini menunjukkan bahwa kesulitan yang
dialami di dunia akan mendapatkan pahala dan kebahagiaan abadi di akhirat.
Kesimpulan:
Dalam
Islam, konsep dunia sebagai penjara bagi orang mukmin memiliki dasar dalam
ajaran Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ.
Konsep ini menekankan bahwa dunia merupakan tempat ujian bagi manusia, dan para
mukmin diharapkan untuk mengendalikan hawa nafsu dan mengikuti perintah Allah.
Al-Qur'an
mengajarkan bahwa dunia ini adalah tempat sementara yang penuh dengan godaan
dan cobaan. Ayat-ayat dalam Al-Qur'an mengingatkan manusia untuk tidak terlalu
terikat pada dunia ini dan untuk mengutamakan kehidupan akhirat. Misalnya,
dalam Surah Al-Kahf (18:46) disebutkan, "Harta dan anak-anak adalah
perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal, yaitu amalan yang
shalih, adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik
harapannya".
Hadis-hadis
Nabi Muhammad ﷺ juga menyampaikan pesan yang serupa.
Beliau menekankan pentingnya mengendalikan hawa nafsu dan menjaga diri dari
godaan dunia. Contohnya, hadis yang mengatakan, "Dunia ini adalah penjara
bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir" (HR. Muslim). Dalam konteks
ini, penjara menggambarkan keterbatasan dan ujian yang harus dihadapi oleh
orang mukmin dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Tujuan
dari mengendalikan hawa nafsu dan menjauhi godaan dunia dalam Islam adalah
untuk meraih kebahagiaan abadi di akhirat. Muslim percaya bahwa kehidupan di
dunia ini hanya sementara, sedangkan kehidupan di akhirat adalah kehidupan yang
abadi. Oleh karena itu, mereka diharapkan untuk memprioritaskan ibadah kepada
Allah, mengikuti perintah-Nya, dan menghindari perbuatan yang melampaui batas
yang ditentukan oleh-Nya.
Penting
untuk dicatat bahwa dalam Islam, tidak semua hal di dunia ini dianggap sebagai
sesuatu yang negatif. Islam mengajarkan bahwa dunia ini juga merupakan karunia
Allah yang harus dimanfaatkan dengan baik untuk mencari ridha-Nya. Namun,
kesadaran akan sifat sementara dunia ini dan pentingnya memprioritaskan
kehidupan akhirat tetap menjadi prinsip dalam pandangan Islam.
Daftar Pustaka
Bagir,
H. (2019). Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan. Noura Books.
Nasrullah,
I. (2019). Resep Hidup Bahagia Menurut al-Quran. Pustaka Alvabet.
Cahyono,
J. S. B. (2021). Membangun di Atas Batu: Berpengharapan dalam Penderitaan
Bertumbuh dalam Iman. PT Kanisius.
Purnomo,
S. A. E. (2021). Cahaya Sejati ataukah Cahaya Semu: Menyingkap Rahasia Sukses
Meraih Cahaya Sejati dan Kebahagiaan Hidup. Sunali Agus Eko Purnomo.
Ajhari,
A. A., Nurlathifah, A. S., Safitri, A., Ramadanti, A. I., Dede, R. H., Rosidin,
D., ... & Munawar, Z. Y. (2019). Jalan menggapai ridho ilahi. Bahasa dan
Sastra Arab, UIN Sunan Gunung Djati.
Nurdin,
E. S., & Ud, M. (2020). Pengantar Ilmu Tasawuf. Aslan Grafika Solution.
Hadi,
M. I. W. (2021). Pribadi Hebat Menggapai Hidup Bahagia Dunia & Akhirat. CV
Jejak (Jejak Publisher).
Munir,
M. M. (2022). Pembinaan An-Nafs di Dalam Surat Asy-Syams. CV. Green Publisher
Indonesia.
Hanifah,
R. (2023). ..(TAMBAHKAN WATERMARK FULL S/D DAFTAR PUSTAKA, UPLOAD ULANG)..
KONSEP KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF BUYA HAMKA DALAM KITAB TAFSIR AL-AZHAR (Doctoral
dissertation, IAIN Ponorogo).
Hasbi,
M. (2020). Akhlak Tasawuf (Solusi Mencari Kebahagiaan dalam Kehidupan Esoteris
dan Eksoteris).
Gade,
S. (2019). Membumikan pendidikan akhlak mulia anak usia dini.
Muvid,
M. B. (2019). Pendidikan Tasawuf: Sebuah Kerangka Proses Pembelajaran Sufistik
Ideal Di Era Milenial. Pustaka Idea.
Nursi,
B. S. (2019). Cahaya Iman Dari Bilik Tahanan. Risalah Press.
Hanifah,
R. (2023). ..(TAMBAHKAN LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ETHESS DENGAN
TTD ASLI BUKAN SCAN, TAMBAHKAN WATERMARK, UPLOAD ULANG).. KONSEP KEBAHAGIAAN
PERSPEKTIF BUYA HAMKA DALAM KITAB TAFSIR AL-AZHAR (Doctoral dissertation, IAIN
Ponorogo).
Takdir,
M. (2019). Psikologi syukur: perspektif psikologi qurani dan psikologi positif
untuk menggapai kebahagiaan sejati (authentic happiness). Elex Media
komputindo.
Wibowo,
A. S. (2020). The Islamic Way of Happiness. Elex Media Komputindo.
Munir,
M. (2021). Manajemen dakwah. Prenada Media.
Aminudin,
A. (2021). PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK MENURUT AL-GHAZALI DALAM KITAB MINHAJ
AL-‘ABIDIN: Etika Sufistik dalam kitab Minhaj al-‘Abidin. PERADA, 4(2),
133-147.
[1] لَا
يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا
ٱكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ
رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ
مِن قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦ ۖ وَٱعْفُ
عَنَّا وَٱغْفِرْ لَنَا وَٱرْحَمْنَآ ۚ أَنتَ مَوْلَىٰنَا فَٱنصُرْنَا عَلَى ٱلْقَوْمِ
ٱلْكَٰفِرِينَ
[2] وَمَآ
أُبَرِّئُ نَفْسِىٓ ۚ إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا
رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ رَّحِيمٌ
[3]
الدُّنْيا
سِجْنُ المُؤْمِنِ، وجَنَّةُ الكافِرِ.
الراوي: أبو هريرة •
مسلم، صحيح مسلم (٢٩٥٦) • [صحيح] • من أفراد مسلم على البخاري
الدُّنيا لِلمُؤمنِ دارُ
بَلاءٍ وابْتلاءٍ، يَصبِرُ فيها عَلى الفِتنِ، ويَتحَكَّم في شَهواتِها مُقيِّدًا
نَفْسَه عن لَهْوِها إِرضاءً للهِ تَعالى.
وفي هذا الحديثِ
يُبيِّنُ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أنَّ الدُّنيا سِجنُ المؤمِنِ؛
فكُلُّ مُؤمنٍ مَسجونٌ مَمنوعٌ في الدُّنيا مِنَ الشَّهواتِ المُحَرَّمةِ
والمَكروهَةِ، يَسجِنُ نَفْسَه عنِ المَلاذِّ ويَأخُذُها بالشَّدائدِ، مُكلَّفٌ
بفِعْلِ الطَّاعاتِ الشَّاقَّةِ، يَحبِسُ نَفْسَه مِن كُلِّ شيءٍ لا يُبيحُه له
الإسلامُ، والإيمانُ قَيَّده في ذلكَ الحَبْسِ، فلا يَقدِرُ على حَرَكةٍ ولا
سُكونٍ إلَّا أنْ يُفسِحَ له الشَّرعُ، فيَفُكَّ قَيْدَه ويُمكِّنَه مِن الفعلِ أو
التَّركِ، مع ما هو فيه مِن تَوالي أنواعِ البَلايا والمِحَنِ والهُموِم، ثمَّ هو
في هذا السِّجنِ على غايةِ الخوْفِ والوَجَلِ؛ إذْ لا يَدْري بماذا يُختَمُ له مِن
عَملٍ؟ ولوْلا أنَّه يَرْتجي الخَلاصَ مِن هذا السِّجنِ لَهَلَكَ مَكانَه، لكنَّ
اللهَ سُبحانه لَطَفَ به، فهَوَّنَ عليه ذلكَ كلَّه بما وَعَد على صَبرِه، وبما
كَشَف له مِن حَميدِ عاقبةِ أمْرِه، فإذا ماتَ انقَلَبَ إِلى ما أَعدَّ اللهُ
تَعالى لَه منَ النَّعيمِ الدَّائمِ والرَّاحةِ الخالصةِ مِنَ النُّقصانِ.
وأمَّا الكافرُ فَليسَ
عَليه قُيودُ الإيمانِ، فهو آمِنٌ مِن تلكَ المخاوفِ، مُقبِلٌ على لَذَّاتِه،
مُنهمِكٌ في شَهواتِه، يَأكُلُ ويَستمتِعُ كما تَأكُلُ الأنعامُ، ولَه منَ
الدُّنيا مَع تَكديرِها بالمُنَغِّصاتِ، فإذا ماتَ صارَ إلى العَذابِ الدَّائمِ
وشَقاءِ الأَبَدِ.
وفي الحديثِ: مُواساةُ
أهلِ البلاءِ بأنَّ الدُّنيا سِجنُ المؤمنِ.
(مصدر
الشرح: الدرر السنية)
[4] ،
صحيح مسلم (٢٩٥٦) • [صحيح] • من أفراد مسلم على البخاري
[5] وَإِذْ
قَالَ إِبْرَٰهِۦمُ رَبِّ ٱجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا ءَامِنًا وَٱرْزُقْ أَهْلَهُۥ
مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ مَنْ ءَامَنَ مِنْهُم بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۖ قَالَ
وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُۥ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُۥٓ إِلَىٰ عَذَابِ ٱلنَّارِ
ۖ وَبِئْسَ ٱلْمَصِيرُ
[6] يقولُ اللَّهُ تَعالى: ما لِعَبْدِي المُؤْمِنِ
عِندِي جَزاءٌ، إذا قَبَضْتُ صَفِيَّهُ مِن أهْلِ الدُّنْيا ثُمَّ احْتَسَبَهُ،
إلّا الجَنَّةُ.
الراوي: أبو هريرة • البخاري، صحيح
البخاري (٦٤٢٤) • [صحيح] • أخرجه البخاري (٦٤٢٤)
lihat juga : Jurnal Mudarris
0 comments:
Post a Comment