Sunday, March 17, 2024

Dunia sebagai Penjara bagi Orang Mukmin

 

local photo (2024) ilustrasi

Mengendalikan Hawa Nafsu untuk Meraih Kebahagiaan Abadi

By. Eep Saepul Hayat

Pendahuluan:

Dalam Islam, umat diajarkan untuk mengendalikan hawa nafsu dan menghadapi godaan dalam kehidupan sehari-hari melalui berbagai prinsip dan praktik. Mereka didorong untuk memiliki kesadaran yang kuat tentang kehadiran Allah dan tunduk sepenuhnya kepada-Nya. Studi dan pemahaman yang mendalam tentang ajaran Islam membantu kita memahami batasan-batasan yang ditentukan oleh Allah dan membedakan antara yang halal dan yang haram. Kesabaran, keteguhan hati, dan menghindari lingkungan negatif juga menjadi bagian penting dalam menjaga kendali diri dan menghindari godaan. Selain itu, memperkuat hubungan dengan Allah melalui ibadah, doa, dan dzikir memberikan kekuatan dan bimbingan dalam menghadapi godaan. Memprioritaskan kebaikan dan amal perbuatan yang baik serta selalu memohon pertolongan Allah juga menjadi bagian dari upaya untuk mengendalikan hawa nafsu dan menghadapi godaan. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari, umat Islam diberdayakan untuk memperkuat kendali atas hawa nafsu mereka dan menjalani kehidupan dengan kesabaran dan keteguhan hati yang kuat.

Mengendalikan Hawa Nafsu sebagai Ujian:

Setiap mukmin akan menghadapi ujian dan godaan dalam kehidupan mereka. Allah SWT menciptakan manusia dengan kecenderungan terhadap hawa nafsu, dan mengendalikan hawa nafsu tersebut merupakan salah satu ujian yang harus dihadapi oleh setiap individu.

Surah Al-Baqarah ayat 286[1], menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang melebihi batas kemampuannya. Artinya, Allah mengetahui kapasitas dan kekuatan setiap individu untuk menghadapi ujian dan godaan dalam hidupnya. Allah tidak memberikan beban yang tidak dapat ditanggung oleh hamba-Nya. Oleh karena itu, mengendalikan hawa nafsu juga merupakan bagian dari ujian yang sesuai dengan kemampuan masing-masing individu.

Dalam Al-Qur'an juga terdapat banyak ayat yang menekankan pentingnya mengendalikan hawa nafsu. Misalnya, Surah Yusuf ayat 53[2], Allah berfirman, "Sesungguhnya hawa nafsu itu sangat berat, kecuali bagi orang yang diberi rahmat oleh Tuhannya." Ayat tersebut menunjukkan bahwa mengendalikan hawa nafsu memang merupakan tugas yang berat, tetapi Allah memberikan rahmat-Nya kepada mereka yang berusaha melakukannya.

Dalam Islam, mengendalikan hawa nafsu dianggap sebagai upaya untuk mencapai keseimbangan, kesucian, dan ketaatan kepada Allah. Ujian ini memungkinkan mukmin untuk menguatkan iman mereka, meningkatkan kesabaran, dan mendekatkan diri kepada Allah. Dalam menghadapi godaan dan mengendalikan hawa nafsu, mukmin diberikan petunjuk dan bimbingan melalui Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW.

Dengan pemahaman bahwa Allah memberikan ujian sesuai dengan kemampuan individu, seorang mukmin dapat menghadapi godaan dan mengendalikan hawa nafsunya dengan keyakinan bahwa Allah tidak akan memberikan beban yang tidak dapat ditanggung. Mereka diberdayakan untuk bertahan dan melampaui ujian tersebut dengan mengandalkan kekuatan dan pertolongan dari Allah SWT.

Penjara Dunia sebagai Pembatas untuk Kebaikan:

Istilah "penjara"[3] dalam konteks ini digunakan secara metaforis untuk menggambarkan keterbatasan dan ujian yang ada dalam dunia ini.

Islam mengajarkan bahwa kehidupan di dunia ini sementara dan ujian-ujian yang ada di dalamnya adalah bagian dari persiapan menuju kehidupan akhirat yang abadi. Larangan-larangan dan batasan-batasan yang ditetapkan dalam agama Islam bertujuan untuk melindungi mukmin dari godaan dan menguji kesetiaan mereka kepada Allah.

Perintah dan larangan dalam Islam didasarkan pada kebijaksanaan Allah SWT yang sempurna dan pemahaman-Nya tentang apa yang terbaik bagi manusia. Larangan terhadap perbuatan dosa dan maksiat, seperti zina, riba, dan konsumsi minuman beralkohol, ditujukan untuk menjaga mukmin dari jatuh ke dalam perbuatan yang merusak diri sendiri, hubungan dengan sesama, dan hubungan dengan Allah.

Dengan menghindari perbuatan dosa dan mematuhi larangan agama, mukmin diharapkan menjalani kehidupan yang bermanfaat, adil, dan penuh dengan kasih sayang. Dalam Islam, kebebasan individu tidak diartikan sebagai kebebasan tanpa batas untuk mengejar keinginan pribadi yang bertentangan dengan ajaran agama, tetapi sebagai kebebasan untuk mengamalkan kebaikan dan menjalani kehidupan yang sesuai dengan petunjuk Allah.

Penting untuk dicatat bahwa pandangan ini tidak secara eksklusif berlaku bagi umat Islam, tetapi juga ditemukan dalam banyak agama dan filosofi moral lainnya. Konsep batasan dan ujian dalam rangka menghindari godaan dan menjalani kehidupan yang bermakna dapat ditemukan dalam berbagai tradisi keagamaan di seluruh dunia.

Dalil-dalil dari Hadis dan Al-Qur'an:

a.       Hadis tentang Penjara Dunia:

Dalam Al-Durr al-Sunniyyah[4], hadis menjelaskan bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin. Hadis ini menekankan bahwa seorang mukmin harus menahan diri dari segala sesuatu yang tidak diizinkan oleh Islam dan menjalani hidup dengan kesulitan. Hal ini menunjukkan pentingnya mengendalikan hawa nafsu dan mengikuti ajaran agama.

b.      Ayat Al-Qur'an tentang Penyiksaan bagi Orang Kafir:

Al-Qur'an juga menggambarkan konsekuensi bagi orang kafir yang tidak terikat oleh batasan-batasan keimanan. Surah Al-Baqarah ayat 126[5] menyatakan, "Dan apabila mereka melampaui batas di bumi, mereka berbuat kerusakan di dalamnya dan merobohkan kebun-kebun serta keturunan yang baik, maka Allah menyiksa mereka dengan seksa yang pedih." Ayat ini menegaskan bahwa kehidupan duniawi yang tidak dijalani sesuai dengan ajaran agama dapat berujung pada siksaan yang kekal.

c.       Hadis tentang Kesabaran dan Pahala yang Dijanjikan:

Nabi Muhammad juga mengajarkan tentang pentingnya kesabaran dalam menghadapi penjara dunia. Beliau bersabda[6], “Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Allah Ta’ala berfirman: Tidak ada balasan yang sesuai di sisi-Ku bagi hamba-Ku yang beriman, jika aku mencabut nyawa orang yang dicintainya di dunia, kemudian ia rela dan bersabar kecuali surge”. Hadis ini menunjukkan bahwa kesulitan yang dialami di dunia akan mendapatkan pahala dan kebahagiaan abadi di akhirat.

Kesimpulan:

Dalam Islam, konsep dunia sebagai penjara bagi orang mukmin memiliki dasar dalam ajaran Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi Muhammad . Konsep ini menekankan bahwa dunia merupakan tempat ujian bagi manusia, dan para mukmin diharapkan untuk mengendalikan hawa nafsu dan mengikuti perintah Allah.

Al-Qur'an mengajarkan bahwa dunia ini adalah tempat sementara yang penuh dengan godaan dan cobaan. Ayat-ayat dalam Al-Qur'an mengingatkan manusia untuk tidak terlalu terikat pada dunia ini dan untuk mengutamakan kehidupan akhirat. Misalnya, dalam Surah Al-Kahf (18:46) disebutkan, "Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal, yaitu amalan yang shalih, adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik harapannya".

Hadis-hadis Nabi Muhammad juga menyampaikan pesan yang serupa. Beliau menekankan pentingnya mengendalikan hawa nafsu dan menjaga diri dari godaan dunia. Contohnya, hadis yang mengatakan, "Dunia ini adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir" (HR. Muslim). Dalam konteks ini, penjara menggambarkan keterbatasan dan ujian yang harus dihadapi oleh orang mukmin dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

Tujuan dari mengendalikan hawa nafsu dan menjauhi godaan dunia dalam Islam adalah untuk meraih kebahagiaan abadi di akhirat. Muslim percaya bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara, sedangkan kehidupan di akhirat adalah kehidupan yang abadi. Oleh karena itu, mereka diharapkan untuk memprioritaskan ibadah kepada Allah, mengikuti perintah-Nya, dan menghindari perbuatan yang melampaui batas yang ditentukan oleh-Nya.

Penting untuk dicatat bahwa dalam Islam, tidak semua hal di dunia ini dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Islam mengajarkan bahwa dunia ini juga merupakan karunia Allah yang harus dimanfaatkan dengan baik untuk mencari ridha-Nya. Namun, kesadaran akan sifat sementara dunia ini dan pentingnya memprioritaskan kehidupan akhirat tetap menjadi prinsip dalam pandangan Islam.

 

Daftar Pustaka

 

Bagir, H. (2019). Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan. Noura Books.

Nasrullah, I. (2019). Resep Hidup Bahagia Menurut al-Quran. Pustaka Alvabet.

Cahyono, J. S. B. (2021). Membangun di Atas Batu: Berpengharapan dalam Penderitaan Bertumbuh dalam Iman. PT Kanisius.

Purnomo, S. A. E. (2021). Cahaya Sejati ataukah Cahaya Semu: Menyingkap Rahasia Sukses Meraih Cahaya Sejati dan Kebahagiaan Hidup. Sunali Agus Eko Purnomo.

Ajhari, A. A., Nurlathifah, A. S., Safitri, A., Ramadanti, A. I., Dede, R. H., Rosidin, D., ... & Munawar, Z. Y. (2019). Jalan menggapai ridho ilahi. Bahasa dan Sastra Arab, UIN Sunan Gunung Djati.

Nurdin, E. S., & Ud, M. (2020). Pengantar Ilmu Tasawuf. Aslan Grafika Solution.

Hadi, M. I. W. (2021). Pribadi Hebat Menggapai Hidup Bahagia Dunia & Akhirat. CV Jejak (Jejak Publisher).

Munir, M. M. (2022). Pembinaan An-Nafs di Dalam Surat Asy-Syams. CV. Green Publisher Indonesia.

Hanifah, R. (2023). ..(TAMBAHKAN WATERMARK FULL S/D DAFTAR PUSTAKA, UPLOAD ULANG).. KONSEP KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF BUYA HAMKA DALAM KITAB TAFSIR AL-AZHAR (Doctoral dissertation, IAIN Ponorogo).

Hasbi, M. (2020). Akhlak Tasawuf (Solusi Mencari Kebahagiaan dalam Kehidupan Esoteris dan Eksoteris).

Gade, S. (2019). Membumikan pendidikan akhlak mulia anak usia dini.

Muvid, M. B. (2019). Pendidikan Tasawuf: Sebuah Kerangka Proses Pembelajaran Sufistik Ideal Di Era Milenial. Pustaka Idea.

Nursi, B. S. (2019). Cahaya Iman Dari Bilik Tahanan. Risalah Press.

Hanifah, R. (2023). ..(TAMBAHKAN LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ETHESS DENGAN TTD ASLI BUKAN SCAN, TAMBAHKAN WATERMARK, UPLOAD ULANG).. KONSEP KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF BUYA HAMKA DALAM KITAB TAFSIR AL-AZHAR (Doctoral dissertation, IAIN Ponorogo).

Takdir, M. (2019). Psikologi syukur: perspektif psikologi qurani dan psikologi positif untuk menggapai kebahagiaan sejati (authentic happiness). Elex Media komputindo.

Wibowo, A. S. (2020). The Islamic Way of Happiness. Elex Media Komputindo.

Munir, M. (2021). Manajemen dakwah. Prenada Media.

Aminudin, A. (2021). PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK MENURUT AL-GHAZALI DALAM KITAB MINHAJ AL-‘ABIDIN: Etika Sufistik dalam kitab Minhaj al-‘Abidin. PERADA, 4(2), 133-147.



[1] لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦ ۖ وَٱعْفُ عَنَّا وَٱغْفِرْ لَنَا وَٱرْحَمْنَآ ۚ أَنتَ مَوْلَىٰنَا فَٱنصُرْنَا عَلَى ٱلْقَوْمِ ٱلْكَٰفِرِينَ

[2] وَمَآ أُبَرِّئُ نَفْسِىٓ ۚ إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ رَّحِيمٌ

[3] الدُّنْيا سِجْنُ المُؤْمِنِ، وجَنَّةُ الكافِرِ.

الراوي: أبو هريرة • مسلم، صحيح مسلم (٢٩٥٦) • [صحيح] • من أفراد مسلم على البخاري

الدُّنيا لِلمُؤمنِ دارُ بَلاءٍ وابْتلاءٍ، يَصبِرُ فيها عَلى الفِتنِ، ويَتحَكَّم في شَهواتِها مُقيِّدًا نَفْسَه عن لَهْوِها إِرضاءً للهِ تَعالى.

 وفي هذا الحديثِ يُبيِّنُ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أنَّ الدُّنيا سِجنُ المؤمِنِ؛ فكُلُّ مُؤمنٍ مَسجونٌ مَمنوعٌ في الدُّنيا مِنَ الشَّهواتِ المُحَرَّمةِ والمَكروهَةِ، يَسجِنُ نَفْسَه عنِ المَلاذِّ ويَأخُذُها بالشَّدائدِ، مُكلَّفٌ بفِعْلِ الطَّاعاتِ الشَّاقَّةِ، يَحبِسُ نَفْسَه مِن كُلِّ شيءٍ لا يُبيحُه له الإسلامُ، والإيمانُ قَيَّده في ذلكَ الحَبْسِ، فلا يَقدِرُ على حَرَكةٍ ولا سُكونٍ إلَّا أنْ يُفسِحَ له الشَّرعُ، فيَفُكَّ قَيْدَه ويُمكِّنَه مِن الفعلِ أو التَّركِ، مع ما هو فيه مِن تَوالي أنواعِ البَلايا والمِحَنِ والهُموِم، ثمَّ هو في هذا السِّجنِ على غايةِ الخوْفِ والوَجَلِ؛ إذْ لا يَدْري بماذا يُختَمُ له مِن عَملٍ؟ ولوْلا أنَّه يَرْتجي الخَلاصَ مِن هذا السِّجنِ لَهَلَكَ مَكانَه، لكنَّ اللهَ سُبحانه لَطَفَ به، فهَوَّنَ عليه ذلكَ كلَّه بما وَعَد على صَبرِه، وبما كَشَف له مِن حَميدِ عاقبةِ أمْرِه، فإذا ماتَ انقَلَبَ إِلى ما أَعدَّ اللهُ تَعالى لَه منَ النَّعيمِ الدَّائمِ والرَّاحةِ الخالصةِ مِنَ النُّقصانِ.

 وأمَّا الكافرُ فَليسَ عَليه قُيودُ الإيمانِ، فهو آمِنٌ مِن تلكَ المخاوفِ، مُقبِلٌ على لَذَّاتِه، مُنهمِكٌ في شَهواتِه، يَأكُلُ ويَستمتِعُ كما تَأكُلُ الأنعامُ، ولَه منَ الدُّنيا مَع تَكديرِها بالمُنَغِّصاتِ، فإذا ماتَ صارَ إلى العَذابِ الدَّائمِ وشَقاءِ الأَبَدِ.

 وفي الحديثِ: مُواساةُ أهلِ البلاءِ بأنَّ الدُّنيا سِجنُ المؤمنِ.

(مصدر الشرح: الدرر السنية)

[4] ، صحيح مسلم (٢٩٥٦) • [صحيح] • من أفراد مسلم على البخاري

[5] وَإِذْ قَالَ إِبْرَٰهِۦمُ رَبِّ ٱجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا ءَامِنًا وَٱرْزُقْ أَهْلَهُۥ مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ مَنْ ءَامَنَ مِنْهُم بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۖ قَالَ وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُۥ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُۥٓ إِلَىٰ عَذَابِ ٱلنَّارِ ۖ وَبِئْسَ ٱلْمَصِيرُ

 

[6] يقولُ اللَّهُ تَعالى: ما لِعَبْدِي المُؤْمِنِ عِندِي جَزاءٌ، إذا قَبَضْتُ صَفِيَّهُ مِن أهْلِ الدُّنْيا ثُمَّ احْتَسَبَهُ، إلّا الجَنَّةُ.

الراوي: أبو هريرة • البخاري، صحيح البخاري (٦٤٢٤) • [صحيح] • أخرجه البخاري (٦٤٢٤)


lihat juga : Jurnal Mudarris

0 comments:

Post a Comment